Jumat, 04 November 2011

FILSAFAT PROTAGORAS


PYTHAGORAS

A.    BIOGRAFI
Pythagoras adalah salah seorang sofis yang hidup tahun 481-411 Sebelum Masehi. Ia berasal dari Abdera daerah, Trake, yang kemudian datang di Athena.[1] Ada dua indikasi bahwa Pythagoras pernah berguru kepada Herakleis yaitu pertama tampak dalam caranya bersoal. Kedua, semboyan Herakleitos “Panta Rei” sering digunakan yang ditujukan kepada subjek yang mendatangkan pengetahuan (knowledge) karena dituduh atheisme ia dibuang dari Athena dan tenggelam ketika peranannya ke Sicilia.[2]

B.     PEMIKIRAN PYTHAGORAS
Bagi “Pythagoras” manusia itu adalah ukuran bagi segalanya, baik yang ada karena adanya. Bagi yang tidak ada karena tidaknya.[3] Maksudnya bahwa semuanya itu harus ditinjau dari pendirian manusia sendiri-sendirinya. Kebenaran umum tidak ada. Pendapatku adalah hasil pandanganku sendiri. Apa ia juga benar bagi orang lain, sukar mengatakannya, boleh jadi tidak. Apa yang ku katakan baik boleh jadi jahat bagi orang lain; apa yang ku katakan bagus, boleh jadi buruk dalam pandangannya. Alam ku adalah bagiku sendiri. Orang lain mempunyai alamnya sendiri pula.
Pandangan berubah-ubah menurut yang dipandang, yang benar seorang besok barangkali tidak lagi. Bukan kejadian di dunia saja berlalu dan bergerak secaradrasa, tetapi juga pandangan manusia. Dan bukan barang yang dipandang itu saja bergerak, juga pancaindera yang memandang. Sebab itu tiap-tiap pandangan bergantung kepada dua macam. Mencari pengetahuan juga memandang, sekalipun memandang dari dalam dengan jiwa dan pikiran, sebagaimana pandangan mata berdasar kepada dua macam gerakan, demikian juga pandangan pikiran.[4]
Dalam bagian lain Pythagoras menegaskan bahwa pandangan itu memuat pengetahuan yang cukup mengenai benda yang dipandang, namun bahwa pengetahuan mengenai bendanya. Dengan demikian kita tidak mengetahui keadaan benda sebagaimana keadaan bendanya yang seluruhnya akan tetapi hanya sebagai rupa pandangannya dirinya sendiri. Keberatan pendirian Pythagoras ialah bahwa tiap-tiap buah pikiran yang lahir dari pandangan adalah benar, tetapi sekira-kiranya juga tidak. Ia hanya pada waktu memandang itu saja. Ia bahkan kebenaran umum, yang benar bagi segala orang dan bagi setiap waktu. Sebab itu segala pengetahuan manusia tidak mengandung kebenaran umum. Segala pengetahuan sifatnya relatif, tak ada buah pikiran yang benar semata-mata, dan oleh karena itu segala yang bertentangan adalah sama-sama kuat.[5]
Pythagoras juga menyampaikan ajaran tentang negara. Negara berdiri bukan karena hukum alam, tapi karena sengaja didirikan manusia. Pada waktu manusia masih hidup sendiri-sendiri, mereka sering mengalami kesukaran dan gangguan dari binatang-binatang liar. Manusia kemudian berkumpul di kota-kota untuk bersama-sama, mengatasi kesukaran dan gangguan yang ada. Ternyata dalam hidup bersama itu mereka menghadapi kesulitan baru, untuk itu mereka menetapkan “dike” / keadilan dan “aidos” / hormat. Kepada orang lain. Kemudian manusia menciptakan undang-undang. Jadi, dalam ajarannya tentang negara, Pythagoras juga berpegang bahwa manusia sah ukuran segala sesuatunya.[6]
Pythagoras meragukan adanya Allah-Allah (Tuhan). Pendapatnya tentang Allah-Allah dapat disebut skeptisisme, yang berarti tidak mungkin mencapai kebenaran. Hal ini cocok dengan relativisme yang diajarkannya. Karena, pendapatnya yang meragukan Allah-Allah itu, Pythagoras dituduh sebagai orang munafik dan buku-bukunya tentang agama dibakar.[7]

C.    PANDANGAN TERHADAP FILOSOF
Pandangan saya terhadap pemikiran Pythagoras yang menyatakan “Manusia itu adalah ukuran bagi segalanya, baik yang ada karena adanya, bagi yang tidak ada karena tidaknya, yang maksudnya bahwa semuanya itu harus ditinjau dari pendirian manusia sendiri-sendiri. Pendapat ku adalah bagi pandangan ku sendiri. Bagi prang lain sukar mengatakannya, boleh jadi tidak”.
Pendapat saya terhadap pemikiran Pythagoras seperti ini: didalam ilmu filsafat unsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian-uraian yang bertentangan satu sama lain. Koheren atau runtut didalamnya memuat suatu kebenaran logis. Sebaiknya, apabila suatu uraian yang didalamnya tidak memuat kebenaran logis, maka uraian tersebut dikatakan sebagai uraian yang tidak koheren atau runtut. Selain itu, filsafat pada hakikatnya bersumber pada : hakikat kodrat pribadi manusia (sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan). Filsafat sebagai pandangan hidup merupakan suatu pandangan hidup yang dijadikan dasar setiap tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, juga dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Sikap dan cara hidup tersebut akan muncul apabila manusia mampu memikirkan dirinya sendiri secara total. Jadi, kesimpulannya saya kurang sependapat dengan pemikiran Pythagoras. Kita boleh mempunyai pendapat sendiri. Argumen sendiri atau pemikiran sendiri. Tetapi, didalam hakekat kodrat pribadi manusia (sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan). Misalnya, masalah kenakalan remaja tidak boleh dipandang dengan satu pemikiran atau disiplin ilmu saja, tetapi beberapa disiplin ilmu: Ilmu agama, ilmu hukum, ilmu Andropologi, ilmu genetika dan lain-lain.[8] Sehingga tidak mungkin pandangan Protagotras dapat digunakan dalam memecahkan kehidupan masyarakat sehari-hari. Jika manusia itu tidak berinteraksi dan melakukan apapun sesuai keinginannya sendiri, maka dapat dibayangkan kehancuran yang akan timbul dari egoisme si manusia tersebut. Untuk mencari atau memperoleh pengetahuan hakikat, haruslah dilakukan dengan abstraksi. Sehingga akhirnya tinggal keadaan atau sifat yang harus ada (mutlak) yaitu substansi, maka pengetahuan hakikat dapat diperolehnya.[9] 
Sedangkan pendapat yang kedua, mengenai negara berdiri bukan karena hukum alam, tapi karena sengaja didirikan manusia. Saya sangat sependapat dengan pemikiran Pythagoras tersebut. Karena pada dasarnya manusia itu hidup berkelompok dan juga mempunyai pemikiran mensejahterakan dirinya. Dengan adanya perkembangan pengetahuan dan teknologi kita semakin ditantang dengan memberikan alternatifnya.
Dan yang terakhir Pythagoras meragukan adanya Allah-Allah (Tuhan) tentu saja saya tidak sependapat. Pendapatnya tentang Allah-Allah tersebut dapat disebut skeptisisme. Filsafat sejati haruslah berdasarkan pada agama. Masalah filsafat yang seperti itu adalah terkandung dalam agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan pada agama dan filsafat hanya semata-mata berdasarkan atas akal pikir saja.[10] Sedangkan kesanggupan akal pikiran terbatas, sehingga filsafat yang hanya berdasarkan pada akal pikir semata-mata akan tidak sanggup memberi kebenaran bagi manusia, demikian dalam rangka pemahamannya terhadap yang gaib.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. M.A.W Brauwer dan M.P Heryadi, B.Ph., Sejarah Filsafat Barat Modern & Sezaman, Bandung, 1986.

Drs. Sudarsono, S.H. M.Si., Ilmu Filsafat, Jakarta, 2001.

DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta, 2001.

Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta, 1992.



[1] Siti Gazaiba, Sistematika Filsafat, hal: 34

[2] Ibid, hal: 35

[3] Sudarsono, Ilmu Filsafat, hal: 39
[4] DR. M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jilid II, hal: 1-2

[5] Ibid. op,cit: hal: 12
[6] M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern & sezaman, hal. 20

[7] Ibid., hal: 20-21

[8] Asmara Achmadi, Filsafat Umum, hal: 5

[9] Ibid., hal: 56
[10] Nasrain, op.cit, hal: 47 

1 komentar:

Aris mengatakan...

Maaf sebelumnya, tapi bukankah Phytagoras dan Protagoras sendiri adalah orang yang berbeda 🙏

Posting Komentar

 

©2009 CERAMAH | by TNB