Jumat, 04 November 2011

MAKALAH FILSAFAT IBNU MASKAWAIH


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Islam bukan sekedar nama agama, tetapi juga mengandung unsur kebudayaan dan peradaban. Sejak lahirnya Islam telah merupakan kekuatan politik yang telah berhasil mempersatukan pelbagai suku bangsa menjadi satu umat dalam kekhilafahan Islam.
Ketertarikan untuk mempelajari Islam lebih mendalam lagi menimbulkan banyak tokoh-tokoh Islam yang bermunculan. Baik itu mengkaji masalah yang berkaitan dengan materi maupun immateri.
Berbicara tentang tokoh-tokoh filsuf Islam tentu menarik untuk dipelajari dan diketahui. Berhubungan dengan Filsafat. Filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal. Sedangkan Filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis.
Untuk mengetahui tokoh Islam yang banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan filsafat Islam, pemakalah mencoba menyajikan tokoh Islam yaitu Ibnu Maskawaih yang untuk pembahasan lebih jauh dapat kita ketahui dalam bab pembahasan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    BIOGRAFI IBNU MASKAWAIH
Nama lengkap Ibnu Maskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi khazin (pustakawan) Ibn al-‘Abid dimana dia dapat menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit. Setelah itu Ibnu Maskawaih meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.
Ibnu Maskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Maskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak.[1]
B.     KARYA-KARYA IBNU MASKAWAIH
Ibnu Maskawaih meninggalkan banyak karya penting, misalnya tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak), dan masih banyak lagi karya-karyanya yang lain.[2]
C.    FILSAFAT IBNU MASKAWAIH
Ibnu Maskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawaih hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.
1.      Hikmah dan Falsafah
Maskawaih membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan, Wisdom) dan Falsafah (Filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan.
Sedangkan mengenai filsafat, maskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian, bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.[3]
2.      Metafisika
Menurut Ibnu Maskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.
Tentang penciptaan yang banyak (alam) oleh yang satu (Tuhan), Ibnu Maskawaih menganut paham emanasi Neo-Platonisme sebagaimana halnya Al-Farabi. Tetapi dalam perumusannya terdapat perbedaan dengan Al-Farabi, yaitu bahwa menurut Ibnu Maskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Dalam teori Al-Farabi akal aktif ini menempati tahap pemancaran ke sepuluh (akal 10). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.
3.      Kenabian
Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa Nabi tidaklah berbeda dengan filsuf dalam hal bahwa kedua-duanya memperoleh kebenaran yang sama. Hanya cara memperolehnya yang berbeda; Nabi memperoleh kebenaran melalui wahyu, jadi dari atas (akal aktif) ke bawah; filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya inderawi lalu daya khayal lalu daya pikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sumber kebenarannya sama-sama akal aktif.
4.      Moral/Etika
Moral, etika atau akhlak menurut Ibnu Maskawaih adalah sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental terbagi dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasan dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang terpuji; kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu Maskawaih sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan perhatian penting pada masa kanak-kanak, yang menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ada dua, yaitu kebaikan umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan yang disepakati oleh seluruh manusia. Kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang disebut kebahagiaan. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap orang.
Ibnu Maskawaih juga mengemukakan tentang penyakit-penyakit moral. Di antaranya adalah rasa takut, terutama takut mati, dan rasa sedih. Kedua penyakit itu paling baik jika diobati dengan filsafat.
5.      Sejarah
Menurut Ibn Maskawaih sejarah bukanlah sekedar narasi yang hanya mengungkapkan keberadaan diri raja-raja yang menghiburnya, akan tetapi Sejarah merupakan pencerminan struktur politik dan ekonomi masyarakat pada masa tertentu, atau dengan kata lain merupakan rekaman tentang pasang-surut kebudayaan suatu bangsa. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau tetapi juga menentukan bentuk yang akan datang.[4]
6.      Perihal Kematian
Adanya kematian itu merupakan bukti keadilan Tuhan terhadap hamba-Nya. Secara rasional dapat dinyatakan bahwa manusia hanyalah makhluk-Nya belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika orang tidak ingin rusak, maka seharusnya pun ia tidak pernah ingin ada. Barangsiapa menginginkan tidak ada berarti ia menginginkan kerusakan dirinya.
7.      Filsafat Politik
Menjaga tegaknya Syariat Islam adalah Imam yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Orang-orang dulu tidak disebut raja, kecuali orang-orang yang menjaga keselamatan agama dan mengusahakan terlaksananya perintah-perintah agama dan menjaga agar larangan-larangannya jangan sampai dilanggar. Oleh karena itu Maskawaih berpendapat bahwa antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan.[5]
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bawah Maskawaih adalah filosof besar dalam Islam. Tetapi kefilosofnnya itu tidak ia raih melalui jalur pendidikan formal, melainkan dengan otodidak. Dialah contoh seorang otodidak sukses dan sejati.
Maskawaih memiliki nilai plus dibandingkan filosof lainnya, terutama sekali dalam pembahasannya tentang urgensi kenabian dan urgensi ditanamkannya pendidikan agama terhadap anak-anak, naik turunnya peradaban, bangsa-bangsa dan negara-negara.
Ibnu Maskawaih mesti tidak hanya mengisi sejarahnya dengan gambaran-gambaran tentang kenyataan, tetapi juga pandangan-pandangan filosofis, menafsirkannya dalam lingkup kepentingan manusiawi dan akibat-akibat yang terjadi. Sebagaimana di dalam alam, di dalam sejarahpun tidak ada tempat bagi kebetulan.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 1999.
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 128-129
A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, hlm. 169-170



[1] Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 1999.
[2] Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 128-129
[3] A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, hlm. 169-170
[4] Nasution Hasyimsyah, Dr. M.A. 1999. Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama.
[5] A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, hlm. 186 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Makasih gan, sangat bermanfaat.

Posting Komentar

 

©2009 CERAMAH | by TNB